Ensiklopedi: Kritik Nilai Guna Ilmu Pengetahuan Menurut Islam
Info penerimaan mahasiswa baru IDIA Prenduan tahun akademik 2010-2011 silahkan klik di sini

Kritik Nilai Guna Ilmu Pengetahuan Menurut Islam

Selasa, 04 Januari 2011

Kirim ini ke Facebook Anda..

www.tips-fb.com


Kritik Nilai Guna Ilmu Pengetahuan Menurut Islam

A.    Pendahuluan
Ibnul Munir rahimahullah berkata, “Yang dimaksudkan oleh Al Bukhari bahwa ilmu adalah syarat benarnya suatu perkataan dan perbuatan. Suatu perkataan dan perbuatan itu tidak teranggap kecuali dengan ilmu terlebih dahulu. Oleh sebab itulah, ilmu didahulukan dari ucapan dan perbuatan, karena ilmu itu pelurus niat. Niat nantinya yang akan memperbaiki amalan.” (Fathul Bari, 1/108).
Berangkat dari perkataan Ibnul Munir di atas, bahwa ilmu atau orang yang berilmu akan benar "perkataannya" jujur, amanah, mengatakan yang hak. Sementara "perbuatannya", yakni, sebuah tindakan yang bijaksana dan dengan perbuatannya tidak menzolimi hak hak antara sesama. Maka bila hal ini benar akan berdampak positif pada kehidupan manusia sehingga akan tercipta kedamaian dan kehidupan yang harmonis antara sesama.

Dan pada realita yang ada saat ini, justru kehancuran besarlah yang diciptakan oleh mereka-mereka yang berpendidikan tinggi dan berilmu. Kejahatan yang mereka perbuat sangat berdampak besar bagi kesejahtraan umat manusia, sehingga tidak sedikit menelan dan menelantarkan jiwa-jiwa tidak berdosa yang tak pernah tau apa-apa. Ternyata kecerdasan yang mereka miliki justru untuk mengakal-akali orang bodoh dan kejeniusan mereka dalam berpolitik jurstu mereka gunakan untuk mempolitiki rakyat-rakyat kecil.
Lantas dimana letak kesalahannya, ilmu yang mereka miliki atau kesalahan terletak pada jiwa dan aka mereka? Pada hal kita tahu bahwa Allah akan mengangkat derajat bagi orang-orang yang berilmu pada maqam/derajat tertinggai sehingga menjadi syarat diterimanya amalan dan kebaikan mereka. Sebagaimana Al Muhallab rahimahullah mengatakan, “Amalan yang bermanfaat adalah amalan yang terlebih dahulu didahului dengan ilmu.
Selanjutnya ilmu adalah salah satu anugerah yang paling agung. Ketika menyebutkan berbagai macam kenikmatan dan karunia yang diberikan-Nya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah ta’ala menjadikan nikmat berupa al-Kitab dan al-Hikmah serta ilmu yang sebelumnya belum beliau ketahui sebagai salah satu karunia yang paling agung. Allah berfirman (yang artinya), ”Dan Allah menurunkan kepadamu al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah), dan mengajarkan kepadamu sesuatu yang sebelumnya belum kamu ketahui. Maka karunia Allah atas dirimu itu sangatlah agung” (QS. An-Nisaa’ [4] : 113). (lihat al-‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 30).

B.     Epistimologi Ilmu Pengetahuan
1.      Ilmu
Kata ilmu merupakan kata serapan yang direduksi dari kata ‘ilm yang berarti pengetahuan; kata  ‘ilm adalah bentuk mashdar (kata benda) dari akar kata fi’il (kata kerja) ‘alima yang berarti tahu. Seperti kata-kata lain dalam bahasa Arab umumnya, kata ’ilm juga memiliki sinonim secara leksikal sama yaitu kata ‘irf (bentuk mashdar) dan ‘arafa (bentuk fi’il)[1].
Apakah ilmu itu? Moh. Nazir, Ph.D (1983:9) mengemukakan bahwa ilmu tidak lain dari suatu pengetahuan, baik natura atau pun sosial, yang sudah terorganisir serta tersusun secara sistematik menurut kaidah umum. Sedangkan Ahmad Tafsir (1992:15) memberikan batasan ilmu sebagai pengetahuan logis dan mempunyai bukti empiris.
Pengertian ilmu mencakupi pelbagai aspek tanggapan, pemikiran dan kehidupan manusia itu sendiri. Hal ini dapat diperjelas melalui pendekatan falsafah, empirik atau konseptual.
Di lain pihak, Lorens Bagus (1996:307-308) mengemukakan bahwa ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang mengacu ke obyek (atau alam obyek) yang sama dan saling keterkaitan secara logis.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas mentakrifkan ilmu secara epistemologi, iaitu sebagai ketibaan dalam kalbu seseorang tentang makna sesuatu perkara, atau ketibaan oleh kalbu tentang makna sesuatu.
Untuk memastikan bahawa ketibaan itu terjadi, usaha tertentu perlu dilakukan. Antaranya pembacaan, interaksi dengan alam, pemerhatian, peningkatan pengalaman diri, perguruan, perbincangan, persidangan…yang dilakukan dengan adab dan akhlak yang terpuji.
Ilmu merupakan ketibaan maklumat. Maklumat ialah sebarang perkara yang diketahui tentang sesuatu objek. Maklumat itu boleh berupa sifat, kelakuan, data atau apa-apa sahaja yang boleh menerangkan objek yang dicerap itu. Lebih banyak yang diketahui tentang sesuatu, lebih banyaklah maklumat yang diperoleh.
Untuk memastikan bahawa maklumat itu bersifat ilmu, maka maklumat itu mestilah benar. Benar bermaksud maklumat itu mestilah bersifat hakiki, iaitu tidak ada unsur keraguan sama sekali. Jika maklumat itu tidak benar, maka martabat ilmu akan menjunam, ilmu akan rosak dan pemikiran akan kacau.
Maklumat yang benar dapat dipastikan melalui kaedah analisis, sintesis, hipotesis… sesuai dengan keperluan dalam bidang tertentu tempat ilmu itu diperoleh.
Maklumat itu mestilah bermakna kepada yang menerimanya. Makna bergantung pada pengetahuannya sebelum ini, tentang latar belakang dan senario di sekitar fenomenon ini. Lebih banyak maklumat diperoleh, lebih bermakna fenomenon tersebut, dan lebih mudah dicari jalan penyelesaiannya.
a.       Ilmu Mengikuti Pandangan Islam
Definisi ilmu bergantung pada cara kerja indera-indera masing-masing individu dalam menyerap pengetahuan dan juga cara berpikir setiap individu dalam memroses pengetahuan yang diperolehnya. Selain itu juga, definisi ilmu bisa berlandaskan aktivitas yang dilakukan ilmu itu sendiri. Kita dapat melihat hal itu melalui metode yang digunakannya (Moh. Hatta).
b.      Ilmu Mengikuti Pandangan Barat
-          Ilmu disebut sebagai knowledge. Knowledge bermaksud tahu: proses mengenal yang diperoleh melalui pengalaman (orang, benda, fakta).
-          Ilmu dirujuk sebagai pengetahuan semata-mata, yang diperoleh melalui pengalaman diri, iaitu bagaimana ia tahu tentang sesuatu fenomenon, atau benda di alam ini, atau fakta tertentu yang tiba padanya.
-          Ilmu juga ditakrifkan sebagai dapatan secara empirikal atau pengalaman dan eksperimen untuk menguasai alam.
-          Descartes mentakrifkan ilmu sebagai apa-apa sahaja yang dapat ditanggap oleh manusia melalui pemikirannya. Ilmu merupakan sesuatu yang  diperoleh melalui persepsi manusia terhadap persekitarannya. Jati diri dikenali dengan engkau, apa yang kaufikirkan.
-          Kant mengatakan bahawa ilmu bukan sekadar sekumpulan perasaan manusia, tetapi lebih kepada suatu konsep peralatan yang membolehkan manusia memahami sesuatu, yang tidak diperoleh melalui pengalaman. Baginya, etika mestilah patuh pada pemikiran rasional.
-          Adler menganggap ilmu sekiranya perkara yang kita fikirkan memaksa kita berfikir tentangnya mengikut cara tertentu. Perkara yang tidak boleh difikirkan bukanlah ilmu.
Ilmu dalam pandangan barat ialah pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman, perolehan maklumat secara empirikal dan pemikiran tentang sesuatu melalui kaedah tertentu, yang membolehkan manusia meneroka dan mengekploitasi alam. Hubungan antara sistem nilai dengan keilmuan masih kabur.
Berbeda dengan pengetahuan, ilmu merupakan pengetahuan khusus dimana seseorang mengetahui apa penyebab sesuatu dan mengapa. Ada persyaratan ilmiah sesuatu dapat disebut sebagai ilmu[4]. Sifat ilmiah sebagai persyaratan ilmu banyak terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam yang telah ada lebih dahulu.
1.      Objektif. Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian antara tahu dengan objek, dan karenanya disebut kebenaran objektif; bukan subjektif berdasarkan subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian.
2.      Metodis adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensi dari upaya ini adalah harus terdapat cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari kata Yunani “Metodos” yang berarti: cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode tertentu yang digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah.
3.      Sistematis. Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu , mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga.
Universal. Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat umum (tidak bersifat tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut 180º. Karenanya universal merupakan syarat ilmu yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari kadar ke-umum-an (universal) yang dikandungnya berbeda dengan ilmu-ilmu alam mengingat objeknya adalah tindakan manusia. Karena itu untuk mencapai tingkat universalitas dalam ilmu-ilmu sosial, harus tersedia konteks dan tertentu pula.
Dari beberapa pengertian ilmu di atas dapat diperoleh gambaran bahwa pada prinsipnya ilmu merupakan suatu usaha untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan pengetahuan atau fakta yang berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari, dan dilanjutkan dengan pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode yang biasa dilakukan dalam penelitian ilmiah (observasi, eksperimen, survai, studi kasus dan lain-lain).

2.      Pengethuan
Sikun Pribadi (1972:1-2) merumuskan pengertian ilmu secara lebih rinci (ia menyebutnya ilmu pengetahuan), bahwa :
“Obyek ilmu pengetahuan ialah dunia fenomenal, dan metode pendekatannya berdasarkan pengalaman (experience) dengan menggunakan berbagai cara seperti observasi, eksperimen, survey, studi kasus, dan sebagainya. Pengalaman-pengalaman itu diolah oleh fikiran atas dasar hukum logika yang tertib. Data yang dikumpulkan diolah dengan cara analitis, induktif, kemudian ditentukan relasi antara data-data, diantaranya relasi kausalitas. Konsepsi-konsepsi dan relasi-relasi disusun menurut suatu sistem tertentu yang merupakan suatu keseluruhan yang terintegratif. Keseluruhan integratif itu kita sebut ilmu pengetahuan.”


a. Metode memperoleh pengetahuan
Dalam upaya memperoleh pengetahuan dan memahami sesuatu, umumnya manusia melakukan satu atau lebih metode untuk memperoleh pengetahuan. Secara garis besar, metode yang biasa dilakukan untuk memperoleh pengetahuan berjumlah empat metode. Keempat metode ini biasa disebut sebagai metode memperoleh pengetahuan atau methods of knowing, yaitu:
1.      Tenacity, yang dimaksud dengan metode tenacity adalah cara memperoleh pengetahuan yang dilakukan dengan sangat meyakini sesuatu, meski bisa jadi apa yang diyakininya belum tentu benar. Keyakinan ini disebabkan karena hal yang diyakini tersebut umumnya terjadi.
2.      Authority yaitu metode memperoleh pengetahuan dengan mempercayakan pada pihak yang dianggap kompeten.
3.      A priori, metode memperoleh pengetahuan dengan menitikberatkan pada kemampuan nalar dan intuisi diri sendiri, tanpa mempertimbangkan informasi dari pihak luar.
4.      Science, cara memperoleh pengetahuan dengan melakukan serangkaian cara-cara ilmiah, seperti mengajukan dugaan, pengujian dugaan, pengontrolan variabel, hingga penyimpulan. Cara ini dianggap sebagai cara yang paling dapat diyakini kebenarannya atas pengetahuan yang diperoleh. Hal ini karena pada science telah dilakukan serangkaian ujicoba sebelum akhirnya memperoleh pengetahuan berupa kesimpulan, yang mana pengujian-pengujian seperti ini tidak ditemukan pada ketiga metode sebelumnya.




C.    Pembahasan
Pada perkembangannya, awalnya manusia memahami sesuatu berdasarkan hal-hal mistis/magis yang dipercayainya. Hal-hal ini bersifat amat abstrak dan terkesan tidak ilmiah. Kemudian, manusia mulai melakukan penalaran dan dugaan-dugaan sebagai cara memahami sesuatu. Namun dugaan-dugaan ini tidak berdasarkan fakta-fakta yang menunjang dugaan tersebut. Dugaan-dugaan yang hanya berdasarkan nalar manusia semata ini, dapat kita sebut sebagai knowledge. Hingga akhirnya, seiring berjalannya waktu, manusia melakukan penalaran dengan lebih akurat. Dalam upaya mencari penjelasan atas sesuatu, manusia mengajukan dugaan-dugaan yang berdasarkan fakta yang akurat. Dugaan yang berdasarkan fakta ini disebut sebagai hipotesis dan upaya pencarian pengetahuan melalui dugaan yang faktual kita sebut sebagai science.
Al-Quran memiliki kaitan yang erat dengan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan disyaratkan dalam berbagai ayat dalam Al-Quran. Al-Quran mendorong iklim ilmiah, mendorong umat untuk belajar. Dalam Al-Quran ilmu dikatakan menjadi hikmah apabila benar (ilmiyah) dan diamalkan (amaliyah). Ilmu dan hikmah didapatkan dengan cara mengamalkannya, maka kita akan temukan apa yang belum kita ketahui.
Prof. Quraish Shihab mengatakan masyarakat yang maju adalah masyarakat yang pandai membaca. Karena itu, Allah SWT memerintahkan dalam surat Al-Alaq ayat pertama, “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu”. Hal itu menggambarkan tentang ilmu, cara memperolehnya, dan hubungan akrab antara manusia dengan Tuhan yang memberi ilmu. Ayat tersebut juga berarti, dalam Islam, ilmu didedikasikan untuk kemaslahatan umat.
Ilmu bisa menjadi wadah pengetahuan sekaligus alat pengetahuan. Prof. Quraish Shihab menggambarkan ilmu yang buruk seperti kolam, hanya menjadi wadah ilmu tapi tidak dapat menjadi sumber ilmu. “Jadilah sumur. Sumur bisa menjadi wadah sekaligus sumber air (ilmu). Untuk dapat ilmu, kita gali terus sumur itu, keluarkan yang kotor-kotor, maka semakin jernih hati kita, dan ilmu akan semakin mudah diraih,” kata Prof. Quraish Shihab.
Sumber ilmu tidak cuma dari proses belajar mengajar. Prof. Quraish Shihab menegaskan ilmu adalah cahaya yang ditampakkan oleh Tuhan kepada manusia-manusia yang jernih hatinya, melalui wahyu, firasat, dan intuisi. Hati yang jernih diraih dengan percaya kepada Allah SWT, berprasangka baik pada Allah SWT, menjaga hubungan mesra dengan sesama manusia, selalu berpikir positif, tidak dengki, culas, dan sombong.
Kemudian, firman Allah,
"Dan Allah mengeluarkan kalian dari keadaan tidak mengetahui sesuatupun. Dan dia memberi kalian pendengaran, penglihatan dan hati, semoga kalian bersyukur". (Surat An-Nahl [16] : 78).
Ayat ini menunjukkan kepada kita, bahwa sarana bagi jiwa untuk memperoleh pengetahuan sebagai bekal kesempurnaannya adalah melalui pendengaran, penglihatan, dan hati. Dan orang-orang yang bersyukur adalah mereka yang menggunakan sarana tersebut untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan mencapai pemahaman mengenai hakikat penciptaannya. Dengan demikian akal bukanlah satu-satunya cara atau sarana untuk mengetahui sesuatu.
Dalam Sahih al-Bukhari, khusus dalam bab fad al-‘ilm, ia mencantumkan 6 (enam) buah hadits, satu hadits ditulis tersendiri dalam halaman awal, lima hadits lainnya ditulis dalam bab tersendiri. Di awal tulisannya tentang urgensitas ini, Bukhari mengawali dengan firman Allah; Allah akan meninggikan derajat orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat, dan Allah maha mengetahui terhadap apa yang kalian perbuat,  dan Tuhanku tambahkanlah ilmu buatku.
Dari keenam hadits- hadits tiga di antaranya adalah;
Pertama;
Artinya “.....dari Abi Hurairah ra. Ketika Nabi sedang berbicara di hadapan orang banyak, datanglah seorang Arab pedalaman dan bertanya, kapan sa’ah itu tiba?, tetapi Rasulullah terus saja berbicara. Sebagian orang berkomentar; Rasulullah itu (sebenarnya) mendengar tetapi beliau tidak menyukai pertanyaan orang tersebut, sebagian laiannya berkomentar; Rasulullah tidak mendengar. Setelah Rasulullah selesai berbicara, beliau bersabda; dimanakah orang yang bertanya tentang sa’ah tadi?, orang tersebut menjawab, saya ya Rasulullah, Nabi bersabda; apabila hilang amanah  maka tunggulah kiamat. Orang tersebut (kembali) bertanya; bagaiman cara hilangnya amanah itu, Nabi menjawab; apabila diserahkan sesuatu kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kedatangan sa’ah”.
Kedua;
Artinya “.....sesungguhnya Ibn ‘Umar berkata; saya mendengar Rasulullah  bersabda; ketika aku sedang tidur, aku bermimpi, aku diberi segelas susu lalu kuminum hingga kulihat tetesan air itu keluar dari ujung kukuku. Kemudian kuberikan kepada ‘Umar ibn Khattab, mereka bertanya, apakah ta’wilnya ya Rasulullah, beliau menjawab; ilmu”.

Ketiga;
Artinya “.....dari ‘Abdullah ibn ‘Amr, bahwa Rasulullah wukuf (berhenti) di Mina pada waktu haji wada’, untuk memberi kesempatan bagi orang-orang bertanya. Datanglah seseorang sambil berkata; saya lupa dan saya bersyukur lebih dahulu sebelum menyembelih. Nabi menjawab; sembelihlah sekarang dan tidak mengapa. Lalu datang lagi yang lain dan berkata; saya lupa dan saya memanah dahulu sebelum menyembelih. Nabi menjawab; panahlah sekarang tidak mengapa. Tiap-tiap Rasulullah ditanya tentang sesuatu yang didahulukan atau dikemudiankan, beliau hanya menjawab; lakukanlah, dan tidak mengapa”.

Hadits- hadits di atas merupakan pijakan bagi umat Islam khususnya untuk sadar betapa pentingnya ilmu pengetahuan, hingga siapa yang bertanya harus dilayani. Kalau bertanya berarti ia haus ilmu pengetahuan, bukan malah mematikan pertanyaannya.
Dalam tasawuf atau di kalangan ahli makrifat, sebagaimana kita maklum, seseorang bisa mengetahui sesuatu dengan tidak melalui akal, tidak pula lewat penginderaan, tetapi lewat cara yang disebut "riyadhah", pendekatan diri kepada Allah, dimana jiwa mengerahkan seluruh kemampuan dan "potensi positif" hati dengan kedisiplinan dan ke"ajeg"an (istiqomah) untuk memperoleh limpahan karunia sesuai kehendak-Nya.
Menurut ahli makrifat, hati adalah tempat perubahan dan pasang surut yang konstan. Di dalam hati terjadi pertempuran antara dorongan hawa nafsu (hawâ) yang menjerembabkan jiwa (nafs) ke dalam kehinaan dengan tarikan ruh yang membawa jiwa kepada kesucian.
Hubungan saling mempengaruhi antara jiwa dengan hawa nafsu adalah melalui hati, sebagaimana hubungan antara jiwa dengan limpahan manifestasi Ilahiah (rûh) juga melalui hati. Ini berarti limpahan ruh Ilahi ke
dalam hati akan mempengaruhi aktivitas jiwa dan perwujudan sifat-sifat terpuji dan kesuciannya, dan sebaliknya kesucian jiwa, tidak akan membiarkan sedikitpun "ruang" di dalam hati disusupi oleh hawa nafsu. Jiwa akan selalu memperkuat hati dengan selalu membukanya untuk menerima limpahan ruh dan pengajaran dari-Nya.
"Dan segala yang Kami sampaikan kepadamu dari cerita Rasul-Rasul yang dengannya Kami kuatkan hatimu, dan dalam cerita itu telah datang kepadamu kebenaran, pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman". (Surat Huud [11] : 120).
Demikian pula dengan jiwa yang menampakkan aktivitas dan perwujudan sifat-sifat yang rendah adalah cermin dari pengaruh hati yang diisi dan ditundukkan oleh hawa nafsu, dan sebaliknya hati yang dikuasai hawa nafsu akan menutup dirinya dari cahaya petunjuk, karena jiwa yang selalu mengajaknya kepada kegelapan.
"Dan mereka berkata, "Hati kami tertutup dari apa yang kamu seru kami kepada-Nya ... " (Surat Fushshilat [41] : 5).
1.      Sifat Dan Tujuan Ilmu Pengetahuan
Ilmu diperlukan oleh semua manusia untuk memandu dan membangunkan kehidupan individu, keluarga, masyarakat dan negara.
Dari definisi diungkapkan Mohammad Hatta dan Harjono, kita dapat melihat bahwa sifat-sifat ilmu merupakan kumpulan pengetahuan mengenai suatu bidang tertentu yang...
a.       Berdiri secara satu kesatuan,
b.      Tersusun secara sistematis,
c.       Ada dasar pembenarannya (ada penjelasan yang dapat dipertanggung jawabkan disertai sebab-sebabnya yang meliputi fakta dan data),
d.      Mendapat legalitas bahwa ilmu tersebut hasil pengkajian atau riset.
e.       Communicable, ilmu dapat ditransfer kepada orang lain sehingga dapat dimengerti dan dipahami maknanya.
f.       Universal, ilmu tidak terbatas ruang dan waktu sehingga dapat berlaku di mana saja dan kapan saja di seluruh alam semesta ini.
g.      Berkembang, ilmu sebaiknya mampu mendorong pengetahuan-pengatahuan dan penemuan-penemuan baru. Sehingga, manusia mampu menciptakan pemikiran-pemikiran yang lebih berkembang dari sebelumnya.
Sementara itu, Ismaun (2001) mengetengahkan sifat atau ciri-ciri ilmu sebagai berikut : (1) obyektif; ilmu berdasarkan hal-hal yang obyektif, dapat diamati dan tidak berdasarkan pada emosional subyektif, (2) koheren; pernyataan/susunan ilmu tidak kontradiksi dengan kenyataan; (3) reliable; produk dan cara-cara memperoleh ilmu dilakukan melalui alat ukur dengan tingkat keterandalan (reabilitas) tinggi, (4) valid; produk dan cara-cara memperoleh ilmu dilakukan melalui alat ukur dengan tingkat keabsahan (validitas) yang tinggi, baik secara internal maupun eksternal, (5) memiliki generalisasi; suatu kesimpulan dalam ilmu dapat berlaku umum, (6) akurat; penarikan kesimpulan memiliki keakuratan (akurasi) yang tinggi, dan (7) dapat melakukan prediksi; ilmu dapat memberikan daya prediksi atas kemungkinan-kemungkinan suatu hal.
Dari penjelasan di atas, kita dapat melihat bahwa tidak semua pengetahuan dikategorikan ilmu. Sebab, definisi pengetahuan itu sendiri sebagai berikut: Segala sesuatu yang datang sebagai hasil dari aktivitas panca indera untuk mengetahui, yaitu terungkapnya suatu kenyataan ke dalam jiwa sehingga tidak ada keraguan terhadapnya, sedangkan ilmu menghendaki lebih jauh, luas, dan dalam dari pengetahuan.
Menurut Braithwaite, ilmu pengetahuan bertujuan menetapkan hukum-hukum umum yang meliputi perilaku kejadian dan objek yang dikaji oleh ilmu yang bersangkutan, dengan demikian memungkinkan untuk saling mengaitkan pengetahuan tersebut dengan kejadian yang manusia alami dan membuat ramalan andal tentang kejadian yang belum dikenal.
Berdasarkan definisi Braithwaite tersebut, secara sederhana dapat dijelaskan bahwa tujuan dasar ilmu pengetahuan adalah merumuskan teori atas suatu hal yang menjadi objek ilmu tersebut. Sementara teori ialah seperangkat konstruk (konsep), batasan, dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan-hubungan antarvariabel, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi gejala itu.
Perumusan teori sebagai tujuan dasar ilmu pengetahuan ini menghasilkan dua tujuan turunan dari ilmu pengetahuan, yakni memahami atau menjelaskan objek ilmu pengetahuan yang dipelajari dan membuat prediksi atas apa yang mungkin terjadi pada objek ilmu pengetahuan yang dipelajari.
2.      Macam Ilmu Pengetahuan
Mengikut Franz Rosenthal, umat Islam ialah umat ilmu. Ilmu dalam Islam dibagi kepada 12 kategori:
      - Ilmu ialah sifat yang membolehkan seseorang itu mengetahui.
      - Ilmu ialah kognisi.
      - Ilmu ialah proses memperoleh atau mencari menerusi persepsi mental.
      - Ilmu ialah proses membuat penjelasan, penegasan atau penglibatan.
      - Ilmu ialah rupa bentuk sesuatu, makna sesuatu, konsepsi atau tasawuf.
      - Ilmu ialah kepercayaan dan pengesahan kebenaran.
      - Ilmu ialah ingatan, imaginasi, citra atau bayangan, pandangan atau pendapat.
      - Ilmu sebagai gerak-geri.
      - Ilmu sebagai hubungan.
      - Ilmu berhubungan dengan amal dan perbuatan.
      - Ilmu berlawanan dengan kejahilan.
      - Ilmu hasil intuisi atau hasil renungan akal.
D.    Kesimpulan
Kebutuhan manusia kepada ilmu jauh lebih mendesak daripada kebutuhan badan terhadap makanan dan kebutuhan kepada yang lainnya. Sebab badan hanya membutuhkan makanan dalam sehari sekali atau dua kali saja. Sedangkan kebutuhan manusia terhadap ilmu itu sebanyak bilangan hembusan nafas. Hal itu dikarenakan setiap hembusan nafasnya senantiasa membutuhkan keikutsertaan iman dan hikmah. Kalau pada suatu saat dia kehilangan iman atau hikmah dalam satu tarikan nafas saja, maka sesungguhnya dia telah berada di tepi jurang kehancuran. Padahal tidak ada jalan untuk tetap beriman dan bersikap hikmah kecuali dengan memahami ilmunya. Oleh sebab itu kebutuhan terhadapnya jauh lebih mendesak daripada kebutuhan diri terhadap makanan dan minuman (al-‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 91). Hal yang demikian mengingat:
1.      Allah akan meninggikan derajat orang yang berilmu di akhirat dan di dunia.
Di akhirat, Allah akan meninggikan derajat orang yang berilmu beberapa derajat berbanding lurus dengan amal dan dakwah yang mereka lakukan. Sedangkan di dunia, Allah meninggikan orang yang berilmu dari hamba-hamba yang lain sesuai dengan ilmu dan amalan yang dia lakukan.
Allah Ta’ala berfirman,
 “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS Al Mujadalah: 11).

2.      Ilmu akan menerangi perjalanan hidup manusia
Ilmu adalah sumber kehidupan dan cahaya penerang hidup bagi seorang hamba. Adapun kebodohan, ia adalah sumber kebinasaan dan kegelapan bagi dirinya. Semua kejelekan bersumber dari ketiadaan kehidupan dan cahaya. Dan semua kebaikan sumbernya adalah keberadaan cahaya dan kehidupan. Karena sesungguhnya dengan adanya cahaya akan menyingkap hakekat segala sesuatu dan memperjelas tingkatan-tingkatannya. Dan kehidupan merupakan penentu sifat kesempurnaan, yang dengannya ucapan dan perbuatan bisa berfungsi sebagaimana mestinya (al-‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 34).
3.      Sebagai obat penyakit hati
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya hati itu menghadapi ancaman dua penyakit yang mendatanginya. Apabila kedua penyakit ini berhasil menaklukkannya itulah kebinasaan dan kematiannya. Dua penyakit itu yaitu penyakit syahwat (hawa nafsu) dan syubhat (kerancuan) dua penyakit ini adalah sumber seluruh penyakit yang menimpa manusia kecuali orang-orang yang diselamatkan oleh Allah.” Semua penyakit hati ini muncul akibat kejahilan (kebodohan), dan obatnya adalah ilmu, sebagaimana sabda Nabi dalam hadits tentang orang yang terluka kepalanya dan mengalami junub kemudian para sahabat menyuruh orang itu untuk tetap mandi (besar) sehingga menyebabkan ia mati, beliau bersabda, “Mereka telah membunuhnya! Semoga Allah melaknat mereka, mengapa mereka tidak mau bertanya ketika mereka tidak mengetahui? Sesungguhnya obat ketidaktahuan adalah dengan bertanya.” (HR. Ibnu Majah, Ahmad dan lain-lain).
Penyakit-penyakit hati itu lebih susah untuk disembuhkan daripada penyakit-penyakit fisik. Karena puncak penyakit fisik hanya berakhir dengan kematian bagi si penderita, sedangkan penyakit hati akan menyebabkan kecelakaan abadi pada dirinya. Tidak ada satupun penyembuh bagi jenis penyakit ini kecuali dengan ilmu; oleh sebab itulah Allah menamai Kitab-Nya sebagai Asy Syifaa’ (penyembuh) bagi penyakit yang ada di dalam dada. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu, dan penyembuh bagi penyakit-penyakit yang berada di dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Yunus [10] : 57) (al-’Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu).
4.      Ilmu sebagai alat pengasah ketajaman hati.
Sebagaimana ia merupakan instrumen jiwa yang sanggup mencapai pengetahuan dan limpahan ruh Ilahi, sepanjang ia -hanya selalu- membuka dirinya untuk menerima pancaran cahaya-Nya. Ketika cahaya ini masuk ke dalam hati, maka ia akan menghilangkan tabir yang menutupi mata batin, sehingga pengetahuan tentang Allah (makrifat) -Sang Sumber Ilmu- dapat singgah di dalam hati. Para ahli makrifat menyebut keadaan hati seperti ini dengan istilah kasyf (penyingkapan). Dengan rahmat-Nya yang tak terbatas, Allah melimpahkan kepada hamba-Nya pengungkapan diri-Nya (tajalli) ke dalam hati hamba-Nya.
5.      Dapat mengantarkan manusia mendapatkan seluruh kebaikan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Setiap orang yang Allah menghendaki kebaikan padanya pasti akan diberi kepahaman dalam masalah agama. Sedangkan orang yang tidak diberikan kepahaman dalam agama, tentu Allah tidak menginginkan kebaikan dan bagusnya agama pada dirinya.” (Majmu’ Al Fatawa, 28/80).
6.      Ilmu sebagai syarat diterimanya amal kebaikan manusia
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz mengatakan, “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia akan membuat banyak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan. (Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 15)
7.      Sebagai pewaris yang dicontohkan para ulama' salaf
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia telah memperoleh keberuntungan yang banyak.” (HR. Abu Dawud no. 3641 dan Tirmidzi no. 2682. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud dan Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shohih).



Artikel Terkait



0 komentar:

Ensiklopedi © 2010 Template by:
Teroris Cinta Dot Com